Minggu, 27 Desember 2015

Mecakcakan di Sambirenteng, Tejakula, Buleleng menjaga Keseimbangan Alam

Bali mecakcakan ritual

Ritual mecakcakan ini merupakan pelaksanaan pecaruan yang digelar oleh seluruh krama desa. Pecaruan dimulai dari areal Pura Bale Agung kemudian ke perempatan di pusat desa dan ke batas-batas desa. Sesuai dresta (Kebiasaan) di desa, prosesi ritual diawali dengan  kegiatan sabung ayam (tabuh rah/ tajen). Masing masing warga wajib mengeluarkan satu ekor ayam aduan untuk diadu. Sabung ayam ini dipusatkan di halamaman Pura Bale Agung. , penonton atau pemilik ayan aduan tidak diizinkan untuk memasang uang taruhan seperti pada arena tajen. Ayam aduan yang kalah (cundang daging ayam) ini dikumpulkan. Begitu banyaknya ayam aduan milik warga, tajen pun dilakukan hingga bisa dua hari lamanya. Ayam aduan yang kalah yang disebut dengan daging cundang dikumpulkan menjadi satu kemudian dagingnya diolah menjadi menu makan bersama. Kegiatan ritual mecakcakan biasanya melibatkan sekitar 130 ekor ayam aduan yang nantinya cundangnya diolah bisa untuk lawar, pepes , dan kuah yang nantinya disuguhkan dalam "Mecakcakan". 
Secara Pasti tidak diketahui tahun berapa awal mulanya ritual mecakcakan ini, warga sudah mendapatkan warisan dari pendahulunya. Dari cerita pendahulunya itu, mecakcakan ini adalah upacara pecaruan yang digelar setiap tilem sasih kepitu yang bertepatan dengan hari Siwaratri, Pecaruan ini secara niskala untuk memohon kerahuyuan dan kedamaian desa. Sedangkan rangkaian pecaruan dengan megibung itu yang diikuti oleh seluruh warga ini sebagai ungkapan syukur dan menjaga rasa persatuan dan kesatuan di antara warga desa tua muda, dan anak-anak termasuk tidak membedakan antara kaya atau miskin. Dan pada intinya mecakcakan ini sebagai wujud menjalin rasa persatuan dan kesatuan sesama warga baik kaya miskin, tua muda, atau anak anak.Ada juga warga yang menyebutkan , sejarah digelarnya ritual ini karena pada zaman dahulu banyak warga yang mengalami wabah penyakit dan situasi di desa selalu dilanda permasalahan. Atas kondisi itu, pendahulunya kemudian memohon petunjuk secara niskala (nunasang) kepada Ida Sesuhunan yang disungsung oleh warga. Saat itu warga diminta melakukan nyakcakin atau melakukan pecaruan. Sarana Pecaruan ini pun harus dari ayam aduan yang kalah dalam arena sabung ayam yang dipusatkan di Pura Bale Agung. Selain itu , setiap warga wajib menyerahkan ayam aduan untuk diadu dan kalau tidak punya atau tidak bisa mengadu ayam , maka warga bisa mengganti dengan uang tunai yang nilainya berkisar Rp. 25.000,- .
Warga Sambirenteng, kecamatan Tejakula, akan mempersiapkan sarana untuk megibung setelah semuanya siap, pihak prajuru desa memukul kentongan sebagai tanda dimulainya makan bersama. Uniknya , suasana yang semula riuh, saat kentongan dipukul, tiba-tiba berubah menjadi tenang. Sementara warga dan tamu undangan tampak asyik menyantap makanan, lawar , sayur kuah, pepes dan daging di atas kelakat beralaskan daun pisang.



Sabtu, 19 Desember 2015

Si Gangsing yang Tetap Lestari di Tamblingan Bali

Bali Gangsing

Permainan Gansing sejatinya tergolong permainan rakyat di daerah agraris seperti di Catur Desa Dalem Adat Tamblingan. Permainan ini tidak diketahui dengan pasti siapa dan sejak kapan diciptakan. Namun hingga kini permainan gangsing tetap dilakukan oleh penggemar gangsing seperti di Desa Munduk, Uma Jero, Gesing, dan Gobleg. "Kalau ditanya sebagian warga tidak tahu , permainan ini sudah ada sejak lama dan kami sendiri sudah mengetahui ada permainan seperti ini kata mereka"

Diawali dengan putaran gangsing yang dilempar pemiliknya. Kemudian gangsing lawan dilemparkan ke gangsing tersebut dengan putaran yang tak kalah kencangnya. Gangsing yang lebih lama berputarlah yang dinyatakan keluar sebagai pemenang. Suasana gembira pun tampak menghiasi raut wajah pemenang. Demikian suasana permainan gangsing tersebar di sejumlah desa di Buleleng. Salah satunya di Catur Desa Adat Tamblingan.Di Desa Tersebut , gangsing yang merupakan salah satu permainan tradisional, hingga kini keberadaannya tetap dilestarikan, Permainan ini menjadi aset seni tradisional yang tetap dijaga kelestariannya.

Setiap akan digelar lomba gangsing, pihak penyelenggara biasanya memusatkan lomba pada arena (sebuah arena). Arena ini biasanya berukuran 10x10 meter. Di dalam area itu dibatasi lagi dengan empat buah kotak persegi dengan ukuran 4 x 4 meter, yang ditandai dengan kapur putih.Perlombaan biasanya diikuti oleh kelompok atau penggemar gangsing dari desa Munduk, Gobleg, Uma Jero dan Gesing. Setiap Kelompok pemain menyiapkan gangsing dengan ukuran besar rata-rata setiap gangsing yang akan diadu memiliki diameter hingga 15 centimeter dengan berat sekitar 1,5 kilogram.

Permainan Gangsing di Catur Desa Adat Tamblingan, mengalami perkembangan dari waktu ke waktu, dapat dicontohkan , jika dulunya hanya memanfaatkan kayu dari pohon jeruk dan pohon limo warga kini memanfaatkan pohon apa saja untuk dijadikan bahan membuat gangsing. Bahkan , jika dulunya warga hanya memanfaatkan bahan gangsing dari kayu yang berukuran besar, namun kini warga menggunakan dari bahan kayu ukuran apa saja. Walaupun ukuran kayuna lebih kecil, warga bisa memanfaatkan lem kayu untuk merekatkan kayuna. Permainan gansing di Catur Desa Adat Dalem Tamblingan memiliki perbedaan dengan gansing di daerah lain. Biasanya warga menggunakan gansing dengan diameter kecil hanya sekitar lima centimeter, namun di catur desa , minimal diameter gansingnya 10 centimeter." Perkembangan sangat pesat dan terutama kayu yang dijadikan untuk gangsing ini mulai digunakan kayu jenis apa saja. Satu gangsing itu maksimal beratnya 1,6 kilogram dan harga jualnya Rp.250.000 satu buah" .

Setiap lomba gangsing suasananya cukup seru karena masing-masing kelompok ini membawa pendukungnya masing-masing. Setiap pemain memukulkan gansing ke tanah, sorak-sorai pendukung membuat suasana kompetisi sangat terasa. Bahkan, ada kepercayaan di antara empat desa itu ketika akan mengikuti lomba persiapan pembuatan gansing harus mencari hari baik. Sampai kini, warga Catur Desa Adat Dalem Tamblingan masih terus melestarikan permainan gangsing. Bahkan, jika sedang memasuki musim, permainan berlangsung selama tiga tahun penuh setiap minggunya. Namun jika warga sudah jenuh, permainan ini bisa tidak dilaksanakan hingga setahun lamanya. Bukan hanya sekedar menggelar perlombaan, namun permainan gangsing ini mulai menjadi pemikat wisatawan asing yang berkunjung ke Buleleng.

Pementasan permainan gansing terutama di Desa Munduk sedikit mengalami hambatan. Pihak desa sampai saat ini masih berusaha untuk membangun arena untuk tempat perlombaan gangsing. Jika arena ini sudah dibangun, pertandingan pun akan digelar lebih sering dan bisa memberikan kesempatan lebih banyak untuk wisatawan mancanegara menikmati atau bahkan mencoba memainkan gangsing.

 

Arsip dan Catatan Pribadi Copyright © 2011 -- Template created by O Pregador -- Powered by Blogger